Tips
Kemampuan Bercerita Seorang Entrepreneur
Ada banyak cara yang dapat digunakan sebagai modal menjadi seorang entrepreneur. Mulai dari organiasi, leadership, dan visi yang kuat. Tetapi dari semua itu, ternyata ada skill yang tidak kalah pentingnya, yaitu kemampuan bercerita.
Tantangan bagi seorang entrepreneur, menurut Martin Zwilling adalah bagaimana mengomunikasikan secara efektif proposisi nilai bisnisnya. Tidak hanya kepada pelanggan, tetapi juga kepada vendor, mitra, investor, dan tim mereka sendiri. Namun, mengkomunikasikan sejumlah fakta itu tidak boleh dengan cara biasa. Seorang entrepreneur harus dapat mengkemasnya menjadi sebuah cerita yang menyenangkan. Sebab itu, Zwilling menandaskan kemampuan bercerita sebaiknya dimiliki oleh para entrepreneur. Alasannya, kebanyakan orang peduli pada apa yang menyentuh hati, menggerakkan kehendak, maupun memberikan pengalaman yang tak terlupakan. Cerita menjadi salah satu metode paling efektif untuk menggapai itu semua.
Menurut Zwilling, ada 10 hal yang patut diperhatikan entrepreneur dalam bercerita.
1. Pilih tema yang tepat untuk target audiens yang tepat.
Seorang storyteller yang baik juga merupakan seorang pendengar yang baik pula. Mereka memahami apa yang penting untuk disampaikan kepada para audiens, seperti apa yang sebenarnya audiens butuhkan dan inginkan, entah itu insight dan sebagainya. Salah satu contoh dapat kita lihat pada tiap presentasi dari almarhum CEO Apple, Steve Jobs. Beliau selalu menekankan tentang produknya yang revolusioner kepada semua orang. Pada saat peluncuran iPhone generasi pertama, Steve Jobs membolehkan ceritanya untuk dimuat media massa secara gratis.
2. Pilih waktu yang tepat di mana audiens akan mendengar.
Memahami pelanggan berarti memahami kapan dan di mana mereka bisa dengan mudah dan enak mendengarkan cerita. Kita harus memilih waktu di mana risiko interupsi dan gangguan terminimalisir. Artinya, mereka memberikan perhatian penuh pada cerita-cerita tersebut. Apabila audiens merasa tidak nyaman, jangan paksakan untuk bercerita karena itu hanya sia-sia belaka.
3. Temukan materi cerita yang menarik.
Biasanya, sumber-sumber materi cerita yang efektif ada pada pengalaman yang didapatkan oleh kita sendiri. Kita lebih yakin bisa menceritakan segenap pengalaman tanpa ada yang dilebihkan. Cerita yang berasal dari pengalaman akan jauh lebih punya daya tarik ketimbang cerita yang sekadar karangan belaka.
4. Pastikan cerita anda memberi efek pada tindakan.
Setiap cerita membutuhkan sesuatu yang akan menggerakkan audiensnya secara emosional. Harapannya, ketika emosinya tersentuh, audiens tergerak untuk melakukan sesuatu. Istilah marketingnya Call-To-Action.
5. Persiapkan segala kondisi untuk kelancaran bercerita.
Persiapkan mental, emosi, dan fisik yang fit untuk bercerita. Bercerita bukan saja pekerjaan bibir. Tapi, semua bagian dari pencerita harus terintegrasi dengan baik. Tujuannya, agar cerita tampak menyakinkan dan tentunya meninggalkan kesan di benak audiens. Kadang, dengan mimik dan tindakan yang diberikan, audiens dapat lebih terpukau.
6. Sampaikan cerita dengan energik.
Seperti halnya intensi, tindakan yang energik tidak dapat dipalsukan. Pencerita harus lebih dulu yakin dengan cerita yang ingin dia sampaikan. Kalau tidak, dijamin audiens juga tidak akan memercayainya.
7. Tunjukkan kekuatan dan kelemahan.
Pencerita yang jujur tentu tidak akan bercerita hal-hal positif saja. Ia juga harus mampu menunjukkan hal-hal yang membuatnya takut, khawatir, dan sebagainya. Dengan bercerita secara jujur, audiens justru akan memberikan simpati kepada pencerita.
8. Buat cerita yang interaktif.
Penceritaan yang interaktif memiliki daya pengaruh yang lebih kuat karena audiens merasa dilibatkan dalam cerita tersebut. Metode interaktif ini bisa dilakukan secara verbal, motorik, dan visual.
9. Libatkan indera audiens.
Banyak pakar komunikasi mengatakan kata-kata hanyalah bagian kecil dari komunikasi manusia. Mayoritas komunikasi ada pada non-verbal. Ketika bercerita, libatkanlah indera-indera audiens agar audiens benar-benar menghayati cerita tersebut.
10. Dengarkan secara seksama dengan seluruh indera Anda.
Selain melibatkan indra audiens, pencerita juga harus melibatkan inderanya sendiri untuk menangkap sinyal-sinyal dari audiens, entah saat berdialog dan sebagainya.
Nah Sobat Studentpreneur, seberapa jauh kemampuan bercerita kalian?