Best People Motivasi
Anak Memiliki Autisme, Bapak ini Memulai Bisnis Nonprofit Demi Anaknya
Kasih Sayang Orang Tua Memang Tidak Ada Batasnya. Pebisnis Ini Membuktikannya.
Ketika Thorkil Sonne dan istrinya, Annette, tahu bahwa Lars, anak mereka memiliki autisme, mereka tidak tahu apa yang harus mereka lakukan. Maka, mereka mulai membaca. Awalnya, mereka merasa lega karena mereka bisa dengan mudah menemukan sumber-sumber yang menulis mengenai topik ini. “Lalu datanglah berita yang menyakitkan,” kata Annette. Beberapa penelitian justru menghakimi bahwa anak-anak seperti Lars tidak akan bisa jadi benar-benar mandiri ketika dewasa.
Akan tetapi, Sonne justru merasa bahwa penelitian tersebut sama sekali tidak menjustifikasi potensi Lars yang sebenarnya. Lars adalah anak muda yang gembira, penasaran, dan semakin ia bertumbuh dewasa, ia mampu mengejutkan mereka dengan kemampuan-kemampuan anehnya yang mengagumkan. Misalnya, ketika orangtuanya mengatakan 20 Desember 1997, maka hampir secara instan, ia akan menyebut hari Sabtu. Lars juga mampu menghafal semua jadwal keberangkatan dan rute kereta api di Denmark (mereka tinggal di Copenhagen).
Bagi ayahnya, Lars sama sekali tidak terlihat seperti anak yang memiliki keterbatasan. Apa yang dimiliki Lars, seperti fokus yang intens dan eksekusi yang hati-hati, adalah kriteria karyawan yang selama ini dicari Sonne ketika masih duduk sebagai direktur teknis di sebuah perusahaan telekomunikasi di Denmark.
Maka, setelah mempelajari autisme selama bertahun-tahun sebagai seorang ayah, Sonne menyimpulkan bahwa orang-orang dengan autisme bisa melakukan beberapa hal lebih baik dibandingkan dengan mereka yang tidak.
Sonne tidak pernah menganggap dirinya sebagai tipe entrepreneur. Akan tetapi menyaksikan Lars dan mendengar cerita yang sama dari orang tua lain yang kerap ia temui selama berkecimpung dengan organisasi autisme, perlahan ia mematangkan sebuah rencana bisnis: banyak perusahaan yang kesulitan mencari pekerja yang mampu menyelesaikan tugas-tugas yang spesifik, dan susah, misalnya data entry atau pengujian software, yang mana justru dapat dengan mudah diselesaikan oleh beberapa orang dengan autis.
Maka, ia memutuskan untuk berhenti dari pekerjaannya, menggadaikan rumah keluarganya, mengambil kursus akutansi 2 hari, dan mendirikan Specialisterne, sebuah bisnis nonprofit yang bertujuan untuk membantu membukakan 100,000 kesempatan kerja bagi para individu berbakat seperti Lars. Specialisterne berasal dari bahasa Denmark untuk kata “spesialis”, karena menurutnya, dengan lingkungan yang tepat, orang dewasa dengan autisme adalah pilihan terbaik untuk sebuah pekerjaan tertentu.
Specialisterne berpartner dengan pemilik bisnis, pemerintah dan organisasi pelatihan nonprofit untuk menyeleksi, melatih, dan mendistribusikan individu dengan autisme pada dunia kerja yang cocok dimana mereka dapat berkembang, terutama di sektor IT dan teknis lainnya.
Selama lebih dari satu dekade, perusahaan ini masih beroperasi dalam skala kecil. Mereka mempekerjakan 35 pekerja autis ke 19 perusahaan di Denmark. Sonne juga berhasil menjalin audiensi dengan kerajaan Belgia dan Denmark, dan pada World Economic Forum di Tianjin, ia menjadi salah satu dari 26 pemenang penghargaan social entrepreneurship global. Namun, ini belum cukup baginya. Ambisinya lebih besar. Menurutnya, masih banyak masyarakat autis yang membutuhkan bantuan mereka. Maka, pada beberapa bulan ke depan, Sonne berencana memindahkan keluarganya ke Amerika Serikat. Kenapa Amerika Serikat? Di sana, ada sekitar 50,000 pemuda autis genap berusia 18 setiap tahunnya, dan sektor teknologi di Amerika Serikat adalah market yang sangat bagus untuk digarap.
Selama bertahun-tahun, para peneliti salah menafsirkan kepandaian orang-orang dengan autisme. Sebuah kesalahan yang sampai sekarang sedang berusaha diralat. Pada tahun 2007, sebuah tim peneliti dari Kanada mempublikasikan makalah yang menunjukkan bahwa pengukuran kecerdasan pada orang-orang dengan autis akan menampilkan hasil yang berbeda-beda tergantung pada metode yang digunakan. Ketika diukur dengan skala Echsler, maka sepertiga anak akan jatuh pada tingkat keterbatasan, dan di antaranya tidak ada yang memiliki kecerdasan tinggi. Namun dengan metode Progressive Raven, yang tidak bergantung pada kemampuan berbahasa, maka mayoritas anak-anak dengan autisme akan mencetak atau melebihi kecerdasan rata-rata. Bahkan sepertiganya memiliki kecerdasan tinggi.
Penelitian lain menunjukkan bahwa pemikiran autis lebih superior ketika mengenali detail, membedakan suara, dan memutar struktur tiga dimensi yang kompleks. Pada tahun 2009, ilmuwan dari King’s College London menyimpulkan bahwa sepertiga pria autis memiliki ‘beberapa bentuk kemampuan yang mengagumkan’.
Sonne telah menyaksikan sendiri bagaimana lingkungan kerja mengubah nasib orang-orang dengan autisme. Sebelum datang ke Specialisterne, Iversen, yang kini bekerja di TDC, tidak memiliki pekerjaan selama 12 tahun dan menghabiskan hari-harinya untuk tidur dan menjelajah internet. Christian Andersen, yang bekerja di Lundbeck, sebuah perusahaan farmasi, harus mengalami bullying selama masa sekolah.
“Saya ingin jadi masinis,” kata Lars. “Itu adalah profesi yang paling indah di negeri ini. Anda akan memegang kontrol terhadap tenaga kuda yang besar. Siapa yang tidak mau?”
Maka, melalui Specialisterne, Sonne berusaha meyakinkan setiap perusahaan di seluruh dunia untuk menyewa karyawan dengan autisme. Jika ia berhasil, mungkin industri kereta api akan mempertimbangkan untuk membuka jalan bagi kandidat-kandidat lain seperti anaknya.
Nah Sobat Studentpreneur, jadi, pelajaran apa yang Anda dapatkan dari profil Thorkil Sonne kali ini? Mari berdiskusi di kolom komentar! Anda juga bisa mendapatkan informasi bisnis anak muda kreatif melalui Facebook atau Twitter Studentpreneur. [Photo Credit: Becky]
Artikel Bisnis Terpopuler Hari Ini:
ALS Ice Bucket Challenge Pertama di Indonesia. Kalian Berani?
Kerennya CEO Muda Burger King Merevolusi Perusahaannya