Berita Bisnis
Bagaimana Generasi Online Indonesia Membentuk Pemilu 2014
Pemilihan presiden menunggu kita pada bulan Juli besok. Sementara masih banyak yang khawatir bahwa korupsi bisa menimbulkan rasa skeptis dan melukai hasil pemilu, akan tetapi keberadaan sosial media mungkin bisa menyembuhkannya. Bagaimana bisa?
Fenomena pertumbuhan generasi online di Indonesia.
Dari 187 juta suara yang memiliki hak memilih dalam pemilu 2014 besok, lebih dari sepertiganya adalah pemilih pemula dengan rentang usia antara 16 dan 20 (WNI di bawah usia 17 tahun yang sudah menikah dapat mendaftar untuk memilih). Populasi kaum muda ini secara demografis adalah generasi online yang terhubung melalui perangkat mobile maupun web, dan mungkin, di tangan mereka lah lanskap politik di tahun-tahun mendatang akan terbentuk.
Sementara penetrasi internet broadband di Indonesia masih melayang-layang di kisaran angka 24 persen, namun diperkirakan 84 persen penduduk Indonesia memiliki setidaknya satu ponsel, meskipun hanya 24 persen di antaranya adalah pengguna smartphone dan mayoritas masyarakat Indonesia masih berkomunikasi melalui ponsel berfitur low-end. Akan tetapi, sembilan dari 10 generasi online di Indonesia, aktif di media sosial (dibandingkan dengan Amerika Serikat yang mana hanya 7 dari 10). Menurut Facebook, ada 64 juta pengguna di Indonesia, 56 persen di antaranya berusia 16 sampai 24 tahun. Jakarta juga baru-baru ini diklaim sebagai kota teraktif nomor satu di Twitter untuk jumlah tweet yang dikirimkan. Akses mobile ke media sosial juga dominan, di mana sekitar 87 persen dari tweet yang dikirim melalui ponsel.
Masa lalu dan masa depan.
Statistik mengejutkan ini tidak ada di pemilihan presiden lima tahun silam di tahun 2009. Artinya, dampak kekuatan teknologi pada sejumlah isu seperti budaya, ekonomi, dan politik kini semakin besar. Contoh yang paling dekat adalah pengaruh media sosial dalam pemenangan Joko Widodo di Pilkada Jakarta 2012 silam. Melalui presensinya yang besar di media sosial, posting video di YouTube dan membuka akun Twitter dan Facebook, Jokowi berhasil merangkul jutaan pemilih tech-savvy, terutama kaum muda.
Akan tetapi, prosedur pemilihan tidak selalu mulus, dan teknologi baru tidak bisa begitu saja menyelesaikan semua masalah ini.
Menurut Menteri Dalam Negeri, Gamawan Fauzi, ada penurunan partisipasi publik, rata-rata 10 persen, dalam setiap pemilihan nasional. Peningkatan pendidikan kewarganegaraan adalah salah satu pendekatan pemerintah untuk memulihkan kepercayaan dan antusiasme pada proses pemilu.
Sebuah survei terbaru dari GroupW melaporkan bahwa hanya 47 persen dari potensi pemilih Jakarta yang mengatakan bahwa mereka pasti akan memilih, 40 persen mengatakan mereka mungkin akan memilih, dan 13 persen mengatakan mereka pasti tidak akan memilih. Studi ini menemukan bahwa pemilih pemula benar-benar membutuhkan sosialisasi tentang bagaimana mekanisme pemilihan, mulai mendaftar untuk mendapat ID pemilih hingga mengisi surat suara.
Maka, media sosial adalah medium yang paling pas untuk membantu upaya sosialisasi ini. Bahkan, sekali tepuk dua lalat. Di sini, politisi dapat mempromosikan kampanye mereka secara online, dan memperluas jangkauan mereka, sekaligus mendidik warga tentang prosedur Pemilu. Generasi online juga dapat mengekspresikan pandangan politik mereka secara lebih bebas, sekaligus berpartisipasi dalam diskusi berskala nasional.
Jelas sekali betapa besarnya potensi generasi online dalam membentuk lanskap politik di Indonesia. Namun bukan berarti dia benar-benar akan membentuknya, karena Pilpres Indonesia 2014 yang mana kurang dari 1 bulan lagi, mau tidak mau, membutuhkan suara Anda. Jadi, jangan sampai golput ya 🙂 Mari berdiskusi di kolom komentar! Anda juga bisa mendapatkan informasi bisnis anak muda kreatif melalui Facebook atau Twitter Studentpreneur. [Photo Credit: NASA]
Artikel Bisnis Terpopuler Hari Ini:
Anak Muda Dibalik Kesuksesan Facebook dan Barrack Obama
Mereka Tidak Beruntung, Namun Lebih Sukses Dari Anda
6 Anak Muda Ajaib di Dunia Bisnis